Membentuk
Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter
Salah
satu tujuan dari pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang
memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang
dimaksud di sini adalah kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan
serta kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan hal yang penting untuk
dimiliki oleh setiap individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari
kegiatan berinteraksi dengan sesamanya di masyarakat.
Hidup bermasyarakat di Indonesia tentu bukan perkara yang
mudah mengingat masyarakat kita memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi.
Hidup di tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak
mampu menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Setiap individu di masyarakat
memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa yang berbeda.
Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat memicu konflik
dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara bijak.
Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan bangsa
tetap terjaga.
Pembentukan karakter pada setiap individu banyak dipengaruhi
oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap individu dilahirkan
dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara genetis (faktor
internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan. Faktor eksternal
ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter setiap
individu. Apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan
belajar tentang sesuatu yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu
pula sebaliknya, apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak
baik dan belajar tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula
individu tersebut.
Besarnya pengaruh lingkungan (faktor eksternal) dalam
membentuk karakter pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk
belajar menjadi individu yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara menempatkan diri pada lingkungan yang mendukung dan membuat seseorang
menjadi individu yang mampu bersikap dan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Lingkungan yang baik tersebut diharapkan dapat merubah karakter suatu individu
menjadi lebih baik dengan cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik
sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut dan dapat
diterapkan dalam kehidupan.
Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan dimana
seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi ilmu pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup bermasyarakat. Seseorang yang
telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang
didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan di masyarakat.
Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk
kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan saja
namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis.
Peranan pendidikan dalam membentuk karakter individu ini
seharusnya disadari dengan baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di
negeri ini. Pendidikan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan
aspek kognitif saja namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan
perilaku siswa (afektif). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional
sebenarnya sudah membagi 3 ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa
yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa guru sebagai ujung tombak di lapangan masih terfokus hanya
pada satu aspek saja yaitu aspek kognitif.
Kenyataan tersebut tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan
oleh pemerintah. Namun hal ini tentu tidak dapat disalahkan begitu saja
mengingat sistem evaluasi pendidikan di negeri ini (Ujian Nasional) yang dijadikan
sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan ternyata juga hanya mengukur aspek
kognitif saja. Aspek afektif yang menekankan perubahan sikap dan perilaku siswa
ternyata masih belum dilakukan penilaian yang seharusnya juga ikut menentukan
kelulusan siswa dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Hal inilah yang menyebabkan guru tidak memberikan perhatian lebih
kepada aspek afektif tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan seharusnya
juga menyadari tentang tugas dan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik.
Mungkin masih banyak guru di lapangan yang tidak bisa membedakan definisi
antara mengajar dan mendidik. Guru sebagai pengajar berkewajiban untuk
mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa.
Sementara guru sebagai pendidik lebih menekankan kewajiban sosial dan moral
seorang guru dalam membentuk dan mengawasi sikap dan tingkah laku siswa. Selama
ini guru hanya menitikberatkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar
saja. Hal ini tidak diimbangi dengan pembekalan nilai-nilai luhur kepribadian
bangsa yang harus tercermin dalam sikap dan tingkah laku siswa sehari-hari.
Belum tercapainya orientasi pendidikan yang mampu mendidik
ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan. Para lulusan
pendidikan saat ini seperti kehilangan jati diri bangsa yang dulu dikenal
memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam bermasyarakat. Hal ini kemudian
diperparah lagi dengan serangan ideologi dan kebudayaan barat yang cenderung
mendorong manusia untuk hidup individualis. Banyak fenomena di negeri ini telah
membuktikan bahwa sangat mudah mencari orang-orang yang pandai dan berilmu
namun sangat sedikit dari mereka yang bermoral dan mampu menggunakan ilmu
sebagai mana mestinya. Mereka hanya menggunakan ilmunya untuk mengejar
kepentingan pribadi semata tanpa memperdulikan orang lain.
Fenomena korupsi merupakan penyakit negeri ini yang tiada
kunjung sembuh dan seperti sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita.
Apabila kita perhatikan, fenomena ini juga tidak lepas dari rendahnya toleransi
terhadap sesama. Seorang koruptor dengan cerdiknya merampok uang rakyat untuk
memperkaya dirinya sendiri tanpa memperhatikan bahwa masih banyak rakyat yang
tidak bisa makan, tidak bisa mengakses kesehatan, tidak bisa menikmati
pendidikan, dan sebagainya. Rendahnya toleransi terhadap sesama ini akan
menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”.
Hal ini tentu tidak kita inginkan karena akan meningkatkan potensi perpecahan
dan kecemburuan sosial di masyarakat.
Rendahnya sikap toleransi terhadap sesama ternyata juga
berimbas pada berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh yang lain, banyak
kerusuhan yang berbau SARA, tawuran pelajar, hingga perseteruan para elit
politik merupakan bukti nyata bahwa menghargai dan menghormati orang lain sudah
menjadi sesuatu yang sangat langka di negeri ini. Jika hal ini dibiarkan
terus-menerus maka dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Menyadari pentingnya masalah tersebut maka sudah waktunya
pendidikan mengambil alih kembali fungsinya dalam mendidik dan membentuk
karakter manusia Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Solusi yang tepat adalah dengan menggalakkan pendidikan berbasis karakter.
Pendidikan berbasis karakter sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dan tidak
sulit untuk melaksanakannya dalam pembelajaran di kelas. Garis besar pendidikan
berbasis karakter ini adalah mengintegrasikan nilai-nilai sikap dan moral ke
dalam kegiatan pembelajaran yang tercermin dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dengan diterapkannya pendidikan berbasis karakter tersebut
maka guru secara langsung memiliki peranan yang besar dalam mengubah dan
membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Guru harus bisa menjadi agen perubahan
dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama. Tugas
tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi dengan pendidikan berbasis karakter
tersebut, antara lain:
- Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan selama ini hanya
menekankan pada aspek kognitif saja. Hal tersebut tentu tidak dapat diandalkan
untuk membentuk kepribadian siswa yang mencerminkan sikap toleransi terhadap
sesama. Sudah saatnya ranah afektif mendapatkan perhatian lebih besar.
Dengan memberikan perhatian lebih kepada ranah afektif maka
sebagai konsekuensinya guru harus merencanakan kegiatan pembelajaran dalam
bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengakomodasikan beberapa
indikator pembelajaran dari ranah afektif tersebut. Indikator tersebut harus
terdefinisikan secara jelas maksud dan tujuannya serta bagaimana cara
penilaiannya.
Guru harus cerdik dalam mengintegrasikan antara indikator
kognitif dan afektif. Apabila suatu materi membutuhkan kegiatan diskusi
kelompok atau debat maka guru dapat memasukkan indikator afektif yang mengukur
sikap toleransi siswa dalam menghargai dan menerima pendapat orang lain. Hal
ini penting karena melalui pembiasaan menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat tersebut maka sikap toleransi siswa akan terbentuk sedikit demi
sedikit.
Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi
dengan sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap
pengetahuan dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling
penting dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa
sikap dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu
memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama
temannya.
Mekanisme penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian
indikator afektif tersebut adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode
angket oleh siswa. Guru membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya
memuat poin-poin penilaian dengan skala tertentu beserta dengan rubrik
penilaiannya. Poin-poin penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai
berikut: Siswa mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong
pembicaraan orang lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan
pendapatnya kepada orang lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila
dirinya salah, Siswa mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak
menyinggung perasaan orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain
sebagainya. Teknis penilaiannya yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses
diskusi satu persatu dan memberikan penilaian pada instrumen yang telah
disiapkan.
Selain metode observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian
yang kedua yaitu dengan memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang
diberikan disini terdiri dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket
penilaian teman. Pertama, angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi
sebagai refleksi diri bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai
dirinya sendiri apakah dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang
diajukan. Sedangkan angket yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket
tersebut berfungsi sebagai penilaian terhadap siswa lain. Kerahasiaan identitas
pengisi angket ini sebisa mungkin dijaga agar tidak menimbulkan permusuhan
diantara siswa sendiri.
Seluruh hasil angket penilaian oleh siswa akan dikumpulkan
dan direkapitulasi dengan hasil penilaian oleh guru. Hasil penilaian yang
didapat diharapkan akan lebih obyektif karena dilakukan oleh banyak orang.
Nilai akhir yang didapat kemudian dikonversi ke dalam skala penilaian huruf (A,
B, C, D, dan E). Agar terjadi perkembangan sikap siswa menjadi lebih baik maka
siswa harus diberikan balikan berupa poin-poin penilaian mana yang masih belum
mereka penuhi.
Metode penilaian “saling menilai” diatas diharapkan mampu
memicu siswa untuk lebih bertoleransi dengan siapapun. Siswa akan lebih
berhati-hati dalam bersikap agar tidak sampai mendapat penilaian yang jelek
baik dari guru maupun temannya sendiri. Siswa akan merasa terus diamati
sehingga dia akan berbuat yang terbaik dimanapun dan kapanpun dia berada.
- Guru menjadi contoh model dalam berperilaku di kelas.
Guru adalah sosok yang harus bisa menjadi panutan baik dari
segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah model yang akan ditiru oleh
siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa belajar dari apa yang mereka
lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka rasakan. Kita juga harus ingat
dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia
akan belajar bersabar. Begitupun sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman
maka ia akan belajar menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi
bagi para guru untuk menunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai
toleransi terhadap sesama.
Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah
laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan
berakibat buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku
kita tanpa memperhitungkan benar salahnya. Sebagai contoh sederhana, apabila
kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan jawaban yang mereka berikan
tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka sebagian besar guru akan berkata
“Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang sering tidak kita sadari tetapi
dengan kita sering menyalahkan pendapat atau jawaban siswa maka secara tidak
langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Guru
seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna negatif yang dapat melemahkan
kreatifitas dan mental siswa.
Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur
kata dan tingkah lakunya dihadapan siswa agar dapat memberikan penguatan
positif terhadap pembentukan kepribadian siswa. Apabila guru mampu bertoleransi
dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal serupa.
- Membiasakan siswa menghargai perbedaan.
“Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”.
Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk
sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap sesama tidak muncul begitu saja
melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang. Guru harus menempatkan siswa
pada kondisi yang menghadirkan banyak perbedaan-perbedaan. Pada kondisi
demikian guru dapat melatih siswa agar bisa menghargai setiap perbedaan yang
ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan sebuah permasalahan untuk
diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian mengadu pendapat antara kelompok
satu dengan kelompok yang lain. Dengan perbedaan pendapat tersebut siswa
dilatih untuk tetap saling menghormati dan menghargai dengan sesama temannya.
Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya yaitu
guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda kepada siswa. Soal
bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa. Pada soal bentuk
pilihan ganda yang ada hanyalah satu opsi jawaban benar dan sisanya adalah
jawaban yang salah. Jika terus dilatih dengan bentuk soal tersebut maka pola
pikir siswa akan menjadi kaku. Mereka tidak akan bisa menghargai perbedaan
jawaban karena sudah terlatih dengan jawaban yang pasti dan tidak dapat
berubah. Guru sebaiknya menggunakan bentuk soal uraian karena lebih efektif
untuk mengukur tingkat nalar dan pemahaman siswa. Selain itu pada bentuk soal
uraian siswa lebih bisa berkreasi dengan jawabannya. Siswa bisa saja
menggunakan kata-kata yang berbeda satu sama lain namun pada akhirnya maksud
dan tujuannya tetap sama. Hal ini secara tidak langsung akan menanamkan pola
pikir kepada siswa bahwa perbedaan itu bukanlah suatu permasalahan yang besar
tetapi justru sebuah keindahan dalam mendefinisikan sesuatu.
- Membuat kelompok-kelompok belajar heterogen.
Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung hidup
berkelompok. Namun dalam hidup berkelompok tersebut manusia cenderung memilih
lingkungan tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka. Manusia hanya mau
berkelompok dengan sesamanya yang memiliki kesamaan-kesamaan misalnya kesamaan
suku, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan kehidupan di
masyarakat menjadi terpecah-pecah.
Dalam kegiatan pembelajaran guru juga sering membagi siswa
dalam kelompok-kelompok belajar. Hal tersebut biasanya dilakukan guru ketika
menggunakan model pembelajaran kooperatif. Dengan berkelompok siswa diharapkan
dapat saling bekerja sama dan bertukar pikiran dalam mempelajari suatu materi.
Namun kebiasaan berkelompok tersebut dapat berakibat negatif apabila guru tidak
mampu mengelolanya secara tepat. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa
dibiarkan memilih anggota kelompoknya sendiri. Mereka cenderung akan memilih
teman-teman terdekatnya. Hal ini akan mengakibatkan pergaulan mereka terbatas
pada orang-orang tertentu saja.
Guru dapat menyikapi persoalan diatas dengan cara membagi
kelompok-kelompok secara heterogen. Tiap-tiap kelompok harus terdiri dari
beberapa siswa yang memiliki latar belakang berbeda, tingkat pengetahuan
berbeda, tingkat ekonomi berbeda, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan
agar siswa lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan dalam
kelompoknya. Siswa akan menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, satu sama lain harus saling membantu
dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian setiap individu tidak akan ada
yang merasa paling hebat dan meremehkan orang lain sehingga sikap toleransi
terhadap sesama akan tertanam dalam hati siswa.
Beberapa poin diatas dapat dijadikan acuan bagi guru dalam
membentuk sikap toleransi siswa. Satu hal yang paling penting adalah sebelum
kita ingin merubah sikap dan perilaku siswa maka kita harus melakukan refleksi
diri terlebih dahulu apakah kita sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan
demikian maka kita dapat menularkan sikap toleransi tersebut kepada siswa
dengan baik.
Membentuk
Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter
Salah
satu tujuan dari pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang
memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang
dimaksud di sini adalah kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan
serta kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan hal yang penting untuk
dimiliki oleh setiap individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari
kegiatan berinteraksi dengan sesamanya di masyarakat.
Hidup bermasyarakat di Indonesia tentu bukan perkara yang
mudah mengingat masyarakat kita memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi.
Hidup di tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak
mampu menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Setiap individu di masyarakat
memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa yang berbeda.
Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat memicu konflik
dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara bijak.
Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi terhadap
perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan bangsa
tetap terjaga.
Pembentukan karakter pada setiap individu banyak dipengaruhi
oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap individu dilahirkan
dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara genetis (faktor
internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga dipengaruhi oleh
faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan. Faktor eksternal
ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter setiap
individu. Apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan
belajar tentang sesuatu yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu
pula sebaliknya, apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak
baik dan belajar tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula
individu tersebut.
Besarnya pengaruh lingkungan (faktor eksternal) dalam
membentuk karakter pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk
belajar menjadi individu yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan
cara menempatkan diri pada lingkungan yang mendukung dan membuat seseorang
menjadi individu yang mampu bersikap dan bersosialisasi dengan lingkungannya.
Lingkungan yang baik tersebut diharapkan dapat merubah karakter suatu individu
menjadi lebih baik dengan cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik
sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut dan dapat
diterapkan dalam kehidupan.
Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan dimana
seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi ilmu pengetahuan,
keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup bermasyarakat. Seseorang yang
telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang
didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan di masyarakat.
Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk
kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan saja
namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis.
Peranan pendidikan dalam membentuk karakter individu ini
seharusnya disadari dengan baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di
negeri ini. Pendidikan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan
aspek kognitif saja namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan
perilaku siswa (afektif). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional
sebenarnya sudah membagi 3 ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa
yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataan yang ada
menunjukkan bahwa guru sebagai ujung tombak di lapangan masih terfokus hanya
pada satu aspek saja yaitu aspek kognitif.
Kenyataan tersebut tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan
oleh pemerintah. Namun hal ini tentu tidak dapat disalahkan begitu saja
mengingat sistem evaluasi pendidikan di negeri ini (Ujian Nasional) yang dijadikan
sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan ternyata juga hanya mengukur aspek
kognitif saja. Aspek afektif yang menekankan perubahan sikap dan perilaku siswa
ternyata masih belum dilakukan penilaian yang seharusnya juga ikut menentukan
kelulusan siswa dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih
tinggi. Hal inilah yang menyebabkan guru tidak memberikan perhatian lebih
kepada aspek afektif tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan seharusnya
juga menyadari tentang tugas dan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik.
Mungkin masih banyak guru di lapangan yang tidak bisa membedakan definisi
antara mengajar dan mendidik. Guru sebagai pengajar berkewajiban untuk
mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa.
Sementara guru sebagai pendidik lebih menekankan kewajiban sosial dan moral
seorang guru dalam membentuk dan mengawasi sikap dan tingkah laku siswa. Selama
ini guru hanya menitikberatkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar
saja. Hal ini tidak diimbangi dengan pembekalan nilai-nilai luhur kepribadian
bangsa yang harus tercermin dalam sikap dan tingkah laku siswa sehari-hari.
Belum tercapainya orientasi pendidikan yang mampu mendidik
ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan. Para lulusan
pendidikan saat ini seperti kehilangan jati diri bangsa yang dulu dikenal
memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam bermasyarakat. Hal ini kemudian
diperparah lagi dengan serangan ideologi dan kebudayaan barat yang cenderung
mendorong manusia untuk hidup individualis. Banyak fenomena di negeri ini telah
membuktikan bahwa sangat mudah mencari orang-orang yang pandai dan berilmu
namun sangat sedikit dari mereka yang bermoral dan mampu menggunakan ilmu
sebagai mana mestinya. Mereka hanya menggunakan ilmunya untuk mengejar
kepentingan pribadi semata tanpa memperdulikan orang lain.
Fenomena korupsi merupakan penyakit negeri ini yang tiada
kunjung sembuh dan seperti sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita.
Apabila kita perhatikan, fenomena ini juga tidak lepas dari rendahnya toleransi
terhadap sesama. Seorang koruptor dengan cerdiknya merampok uang rakyat untuk
memperkaya dirinya sendiri tanpa memperhatikan bahwa masih banyak rakyat yang
tidak bisa makan, tidak bisa mengakses kesehatan, tidak bisa menikmati
pendidikan, dan sebagainya. Rendahnya toleransi terhadap sesama ini akan
menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”.
Hal ini tentu tidak kita inginkan karena akan meningkatkan potensi perpecahan
dan kecemburuan sosial di masyarakat.
Rendahnya sikap toleransi terhadap sesama ternyata juga
berimbas pada berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh yang lain, banyak
kerusuhan yang berbau SARA, tawuran pelajar, hingga perseteruan para elit
politik merupakan bukti nyata bahwa menghargai dan menghormati orang lain sudah
menjadi sesuatu yang sangat langka di negeri ini. Jika hal ini dibiarkan
terus-menerus maka dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Menyadari pentingnya masalah tersebut maka sudah waktunya
pendidikan mengambil alih kembali fungsinya dalam mendidik dan membentuk
karakter manusia Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila.
Solusi yang tepat adalah dengan menggalakkan pendidikan berbasis karakter.
Pendidikan berbasis karakter sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dan tidak
sulit untuk melaksanakannya dalam pembelajaran di kelas. Garis besar pendidikan
berbasis karakter ini adalah mengintegrasikan nilai-nilai sikap dan moral ke
dalam kegiatan pembelajaran yang tercermin dalam Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) dan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dengan diterapkannya pendidikan berbasis karakter tersebut
maka guru secara langsung memiliki peranan yang besar dalam mengubah dan
membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Guru harus bisa menjadi agen perubahan
dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama. Tugas
tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan
sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi dengan pendidikan berbasis karakter
tersebut, antara lain:
- Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan selama ini hanya
menekankan pada aspek kognitif saja. Hal tersebut tentu tidak dapat diandalkan
untuk membentuk kepribadian siswa yang mencerminkan sikap toleransi terhadap
sesama. Sudah saatnya ranah afektif mendapatkan perhatian lebih besar.
Dengan memberikan perhatian lebih kepada ranah afektif maka
sebagai konsekuensinya guru harus merencanakan kegiatan pembelajaran dalam
bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengakomodasikan beberapa
indikator pembelajaran dari ranah afektif tersebut. Indikator tersebut harus
terdefinisikan secara jelas maksud dan tujuannya serta bagaimana cara
penilaiannya.
Guru harus cerdik dalam mengintegrasikan antara indikator
kognitif dan afektif. Apabila suatu materi membutuhkan kegiatan diskusi
kelompok atau debat maka guru dapat memasukkan indikator afektif yang mengukur
sikap toleransi siswa dalam menghargai dan menerima pendapat orang lain. Hal
ini penting karena melalui pembiasaan menghargai dan menghormati perbedaan
pendapat tersebut maka sikap toleransi siswa akan terbentuk sedikit demi
sedikit.
Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi
dengan sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap
pengetahuan dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling
penting dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa
sikap dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu
memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama
temannya.
Mekanisme penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian
indikator afektif tersebut adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode
angket oleh siswa. Guru membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya
memuat poin-poin penilaian dengan skala tertentu beserta dengan rubrik
penilaiannya. Poin-poin penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai
berikut: Siswa mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong
pembicaraan orang lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan
pendapatnya kepada orang lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila
dirinya salah, Siswa mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak
menyinggung perasaan orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain
sebagainya. Teknis penilaiannya yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses
diskusi satu persatu dan memberikan penilaian pada instrumen yang telah
disiapkan.
Selain metode observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian
yang kedua yaitu dengan memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang
diberikan disini terdiri dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket
penilaian teman. Pertama, angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi
sebagai refleksi diri bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai
dirinya sendiri apakah dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang
diajukan. Sedangkan angket yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket
tersebut berfungsi sebagai penilaian terhadap siswa lain. Kerahasiaan identitas
pengisi angket ini sebisa mungkin dijaga agar tidak menimbulkan permusuhan
diantara siswa sendiri.
Seluruh hasil angket penilaian oleh siswa akan dikumpulkan
dan direkapitulasi dengan hasil penilaian oleh guru. Hasil penilaian yang
didapat diharapkan akan lebih obyektif karena dilakukan oleh banyak orang.
Nilai akhir yang didapat kemudian dikonversi ke dalam skala penilaian huruf (A,
B, C, D, dan E). Agar terjadi perkembangan sikap siswa menjadi lebih baik maka
siswa harus diberikan balikan berupa poin-poin penilaian mana yang masih belum
mereka penuhi.
Metode penilaian “saling menilai” diatas diharapkan mampu
memicu siswa untuk lebih bertoleransi dengan siapapun. Siswa akan lebih
berhati-hati dalam bersikap agar tidak sampai mendapat penilaian yang jelek
baik dari guru maupun temannya sendiri. Siswa akan merasa terus diamati
sehingga dia akan berbuat yang terbaik dimanapun dan kapanpun dia berada.
- Guru menjadi contoh model dalam berperilaku di kelas.
Guru adalah sosok yang harus bisa menjadi panutan baik dari
segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah model yang akan ditiru oleh
siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa belajar dari apa yang mereka
lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka rasakan. Kita juga harus ingat
dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia
akan belajar bersabar. Begitupun sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman
maka ia akan belajar menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi
bagi para guru untuk menunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai
toleransi terhadap sesama.
Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah
laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan
berakibat buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku
kita tanpa memperhitungkan benar salahnya. Sebagai contoh sederhana, apabila
kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan jawaban yang mereka berikan
tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka sebagian besar guru akan berkata
“Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang sering tidak kita sadari tetapi
dengan kita sering menyalahkan pendapat atau jawaban siswa maka secara tidak
langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Guru
seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna negatif yang dapat melemahkan
kreatifitas dan mental siswa.
Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur
kata dan tingkah lakunya dihadapan siswa agar dapat memberikan penguatan
positif terhadap pembentukan kepribadian siswa. Apabila guru mampu bertoleransi
dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal serupa.
- Membiasakan siswa menghargai perbedaan.
“Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”.
Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk
sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap sesama tidak muncul begitu saja
melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang. Guru harus menempatkan siswa
pada kondisi yang menghadirkan banyak perbedaan-perbedaan. Pada kondisi
demikian guru dapat melatih siswa agar bisa menghargai setiap perbedaan yang
ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan sebuah permasalahan untuk
diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian mengadu pendapat antara kelompok
satu dengan kelompok yang lain. Dengan perbedaan pendapat tersebut siswa
dilatih untuk tetap saling menghormati dan menghargai dengan sesama temannya.
Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya yaitu
guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda kepada siswa. Soal
bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa. Pada soal bentuk
pilihan ganda yang ada hanyalah satu opsi jawaban benar dan sisanya adalah
jawaban yang salah. Jika terus dilatih dengan bentuk soal tersebut maka pola
pikir siswa akan menjadi kaku. Mereka tidak akan bisa menghargai perbedaan
jawaban karena sudah terlatih dengan jawaban yang pasti dan tidak dapat
berubah. Guru sebaiknya menggunakan bentuk soal uraian karena lebih efektif
untuk mengukur tingkat nalar dan pemahaman siswa. Selain itu pada bentuk soal
uraian siswa lebih bisa berkreasi dengan jawabannya. Siswa bisa saja
menggunakan kata-kata yang berbeda satu sama lain namun pada akhirnya maksud
dan tujuannya tetap sama. Hal ini secara tidak langsung akan menanamkan pola
pikir kepada siswa bahwa perbedaan itu bukanlah suatu permasalahan yang besar
tetapi justru sebuah keindahan dalam mendefinisikan sesuatu.
- Membuat kelompok-kelompok belajar heterogen.
Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung hidup
berkelompok. Namun dalam hidup berkelompok tersebut manusia cenderung memilih
lingkungan tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka. Manusia hanya mau
berkelompok dengan sesamanya yang memiliki kesamaan-kesamaan misalnya kesamaan
suku, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan kehidupan di
masyarakat menjadi terpecah-pecah.
Dalam kegiatan pembelajaran guru juga sering membagi siswa
dalam kelompok-kelompok belajar. Hal tersebut biasanya dilakukan guru ketika
menggunakan model pembelajaran kooperatif. Dengan berkelompok siswa diharapkan
dapat saling bekerja sama dan bertukar pikiran dalam mempelajari suatu materi.
Namun kebiasaan berkelompok tersebut dapat berakibat negatif apabila guru tidak
mampu mengelolanya secara tepat. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa
dibiarkan memilih anggota kelompoknya sendiri. Mereka cenderung akan memilih
teman-teman terdekatnya. Hal ini akan mengakibatkan pergaulan mereka terbatas
pada orang-orang tertentu saja.
Guru dapat menyikapi persoalan diatas dengan cara membagi
kelompok-kelompok secara heterogen. Tiap-tiap kelompok harus terdiri dari
beberapa siswa yang memiliki latar belakang berbeda, tingkat pengetahuan
berbeda, tingkat ekonomi berbeda, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan
agar siswa lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan dalam
kelompoknya. Siswa akan menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, satu sama lain harus saling membantu
dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian setiap individu tidak akan ada
yang merasa paling hebat dan meremehkan orang lain sehingga sikap toleransi
terhadap sesama akan tertanam dalam hati siswa.
Beberapa poin diatas dapat dijadikan acuan bagi guru dalam
membentuk sikap toleransi siswa. Satu hal yang paling penting adalah sebelum
kita ingin merubah sikap dan perilaku siswa maka kita harus melakukan refleksi
diri terlebih dahulu apakah kita sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan
demikian maka kita dapat menularkan sikap toleransi tersebut kepada siswa
dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar