sofware penambah saldo rekening

Rabu, 24 Oktober 2012

Membentuk Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter



Membentuk Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter
Salah satu tujuan dari pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan serta kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari kegiatan berinteraksi dengan sesamanya di masyarakat.
Hidup bermasyarakat di Indonesia tentu bukan perkara yang mudah mengingat masyarakat kita memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi. Hidup di tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak mampu menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Setiap individu di masyarakat memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa yang berbeda. Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat memicu konflik dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara bijak. Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan bangsa tetap terjaga.
Pembentukan karakter pada setiap individu banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap individu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara genetis (faktor internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan. Faktor eksternal ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter setiap individu. Apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan belajar tentang sesuatu yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik dan belajar tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula individu tersebut.
Besarnya pengaruh lingkungan (faktor eksternal) dalam membentuk karakter pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk belajar menjadi individu yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menempatkan diri pada lingkungan yang mendukung dan membuat seseorang menjadi individu yang mampu bersikap dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik tersebut diharapkan dapat merubah karakter suatu individu menjadi lebih baik dengan cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut dan dapat diterapkan dalam kehidupan.
Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan dimana seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup bermasyarakat. Seseorang yang telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan di masyarakat. Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan saja namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis.
Peranan pendidikan dalam membentuk karakter individu ini seharusnya disadari dengan baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di negeri ini. Pendidikan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan aspek kognitif saja namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan perilaku siswa (afektif). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sebenarnya sudah membagi 3 ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa guru sebagai ujung tombak di lapangan masih terfokus hanya pada satu aspek saja yaitu aspek kognitif.
Kenyataan tersebut tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Namun hal ini tentu tidak dapat disalahkan begitu saja mengingat sistem evaluasi pendidikan di negeri ini (Ujian Nasional) yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan ternyata juga hanya mengukur aspek kognitif saja. Aspek afektif yang menekankan perubahan sikap dan perilaku siswa ternyata masih belum dilakukan penilaian yang seharusnya juga ikut menentukan kelulusan siswa dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan guru tidak memberikan perhatian lebih kepada aspek afektif tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan seharusnya juga menyadari tentang tugas dan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik. Mungkin masih banyak guru di lapangan yang tidak bisa membedakan definisi antara mengajar dan mendidik. Guru sebagai pengajar berkewajiban untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa. Sementara guru sebagai pendidik lebih menekankan kewajiban sosial dan moral seorang guru dalam membentuk dan mengawasi sikap dan tingkah laku siswa. Selama ini guru hanya menitikberatkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar saja. Hal ini tidak diimbangi dengan pembekalan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa yang harus tercermin dalam sikap dan tingkah laku siswa sehari-hari.
Belum tercapainya orientasi pendidikan yang mampu mendidik ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan. Para lulusan pendidikan saat ini seperti kehilangan jati diri bangsa yang dulu dikenal memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam bermasyarakat. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan serangan ideologi dan kebudayaan barat yang cenderung mendorong manusia untuk hidup individualis. Banyak fenomena di negeri ini telah membuktikan bahwa sangat mudah mencari orang-orang yang pandai dan berilmu namun sangat sedikit dari mereka yang bermoral dan mampu menggunakan ilmu sebagai mana mestinya. Mereka hanya menggunakan ilmunya untuk mengejar kepentingan pribadi semata tanpa memperdulikan orang lain.
Fenomena korupsi merupakan penyakit negeri ini yang tiada kunjung sembuh dan seperti sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Apabila kita perhatikan, fenomena ini juga tidak lepas dari rendahnya toleransi terhadap sesama. Seorang koruptor dengan cerdiknya merampok uang rakyat untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa memperhatikan bahwa masih banyak rakyat yang tidak bisa makan, tidak bisa mengakses kesehatan, tidak bisa menikmati pendidikan, dan sebagainya. Rendahnya toleransi terhadap sesama ini akan menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”. Hal ini tentu tidak kita inginkan karena akan meningkatkan potensi perpecahan dan kecemburuan sosial di masyarakat.
Rendahnya sikap toleransi terhadap sesama ternyata juga berimbas pada berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh yang lain, banyak kerusuhan yang berbau SARA, tawuran pelajar, hingga perseteruan para elit politik merupakan bukti nyata bahwa menghargai dan menghormati orang lain sudah menjadi sesuatu yang sangat langka di negeri ini. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Menyadari pentingnya masalah tersebut maka sudah waktunya pendidikan mengambil alih kembali fungsinya dalam mendidik dan membentuk karakter manusia Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila. Solusi yang tepat adalah dengan menggalakkan pendidikan berbasis karakter. Pendidikan berbasis karakter sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dan tidak sulit untuk melaksanakannya dalam pembelajaran di kelas. Garis besar pendidikan berbasis karakter ini adalah mengintegrasikan nilai-nilai sikap dan moral ke dalam kegiatan pembelajaran yang tercermin dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dengan diterapkannya pendidikan berbasis karakter tersebut maka guru secara langsung memiliki peranan yang besar dalam mengubah dan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Guru harus bisa menjadi agen perubahan dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama. Tugas tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi dengan pendidikan berbasis karakter tersebut, antara lain:
  1. Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan selama ini hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Hal tersebut tentu tidak dapat diandalkan untuk membentuk kepribadian siswa yang mencerminkan sikap toleransi terhadap sesama. Sudah saatnya ranah afektif mendapatkan perhatian lebih besar.
Dengan memberikan perhatian lebih kepada ranah afektif maka sebagai konsekuensinya guru harus merencanakan kegiatan pembelajaran dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengakomodasikan beberapa indikator pembelajaran dari ranah afektif tersebut. Indikator tersebut harus terdefinisikan secara jelas maksud dan tujuannya serta bagaimana cara penilaiannya.
Guru harus cerdik dalam mengintegrasikan antara indikator kognitif dan afektif. Apabila suatu materi membutuhkan kegiatan diskusi kelompok atau debat maka guru dapat memasukkan indikator afektif yang mengukur sikap toleransi siswa dalam menghargai dan menerima pendapat orang lain. Hal ini penting karena melalui pembiasaan menghargai dan menghormati perbedaan pendapat tersebut maka sikap toleransi siswa akan terbentuk sedikit demi sedikit.
Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi dengan sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap pengetahuan dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa sikap dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama temannya.
Mekanisme penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian indikator afektif tersebut adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode angket oleh siswa. Guru membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya memuat poin-poin penilaian dengan skala tertentu beserta dengan rubrik penilaiannya. Poin-poin penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai berikut: Siswa mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong pembicaraan orang lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila dirinya salah, Siswa mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak menyinggung perasaan orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain sebagainya. Teknis penilaiannya yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses diskusi satu persatu dan memberikan penilaian pada instrumen yang telah disiapkan.
Selain metode observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian yang kedua yaitu dengan memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang diberikan disini terdiri dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket penilaian teman. Pertama, angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi sebagai refleksi diri bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai dirinya sendiri apakah dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang diajukan. Sedangkan angket yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket tersebut berfungsi sebagai penilaian terhadap siswa lain. Kerahasiaan identitas pengisi angket ini sebisa mungkin dijaga agar tidak menimbulkan permusuhan diantara siswa sendiri.
Seluruh hasil angket penilaian oleh siswa akan dikumpulkan dan direkapitulasi dengan hasil penilaian oleh guru. Hasil penilaian yang didapat diharapkan akan lebih obyektif karena dilakukan oleh banyak orang. Nilai akhir yang didapat kemudian dikonversi ke dalam skala penilaian huruf (A, B, C, D, dan E). Agar terjadi perkembangan sikap siswa menjadi lebih baik maka siswa harus diberikan balikan berupa poin-poin penilaian mana yang masih belum mereka penuhi.
Metode penilaian “saling menilai” diatas diharapkan mampu memicu siswa untuk lebih bertoleransi dengan siapapun. Siswa akan lebih berhati-hati dalam bersikap agar tidak sampai mendapat penilaian yang jelek baik dari guru maupun temannya sendiri. Siswa akan merasa terus diamati sehingga dia akan berbuat yang terbaik dimanapun dan kapanpun dia berada.
  1. Guru menjadi contoh model dalam berperilaku di kelas.
Guru adalah sosok yang harus bisa menjadi panutan baik dari segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah model yang akan ditiru oleh siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa belajar dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka rasakan. Kita juga harus ingat dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia akan belajar bersabar. Begitupun sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman maka ia akan belajar menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi bagi para guru untuk menunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai toleransi terhadap sesama.
Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan berakibat buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku kita tanpa memperhitungkan benar salahnya. Sebagai contoh sederhana, apabila kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan jawaban yang mereka berikan tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka sebagian besar guru akan berkata “Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang sering tidak kita sadari tetapi dengan kita sering menyalahkan pendapat atau jawaban siswa maka secara tidak langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Guru seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna negatif yang dapat melemahkan kreatifitas dan mental siswa.
Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur kata dan tingkah lakunya dihadapan siswa agar dapat memberikan penguatan positif terhadap pembentukan kepribadian siswa. Apabila guru mampu bertoleransi dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal serupa.
  1. Membiasakan siswa menghargai perbedaan.
“Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”. Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap sesama tidak muncul begitu saja melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang. Guru harus menempatkan siswa pada kondisi yang menghadirkan banyak perbedaan-perbedaan. Pada kondisi demikian guru dapat melatih siswa agar bisa menghargai setiap perbedaan yang ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan sebuah permasalahan untuk diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian mengadu pendapat antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Dengan perbedaan pendapat tersebut siswa dilatih untuk tetap saling menghormati dan menghargai dengan sesama temannya.
Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya yaitu guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda kepada siswa. Soal bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa. Pada soal bentuk pilihan ganda yang ada hanyalah satu opsi jawaban benar dan sisanya adalah jawaban yang salah. Jika terus dilatih dengan bentuk soal tersebut maka pola pikir siswa akan menjadi kaku. Mereka tidak akan bisa menghargai perbedaan jawaban karena sudah terlatih dengan jawaban yang pasti dan tidak dapat berubah. Guru sebaiknya menggunakan bentuk soal uraian karena lebih efektif untuk mengukur tingkat nalar dan pemahaman siswa. Selain itu pada bentuk soal uraian siswa lebih bisa berkreasi dengan jawabannya. Siswa bisa saja menggunakan kata-kata yang berbeda satu sama lain namun pada akhirnya maksud dan tujuannya tetap sama. Hal ini secara tidak langsung akan menanamkan pola pikir kepada siswa bahwa perbedaan itu bukanlah suatu permasalahan yang besar tetapi justru sebuah keindahan dalam mendefinisikan sesuatu.
  1. Membuat kelompok-kelompok belajar heterogen.
Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung hidup berkelompok. Namun dalam hidup berkelompok tersebut manusia cenderung memilih lingkungan tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka. Manusia hanya mau berkelompok dengan sesamanya yang memiliki kesamaan-kesamaan misalnya kesamaan suku, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan kehidupan di masyarakat menjadi terpecah-pecah.
Dalam kegiatan pembelajaran guru juga sering membagi siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Hal tersebut biasanya dilakukan guru ketika menggunakan model pembelajaran kooperatif. Dengan berkelompok siswa diharapkan dapat saling bekerja sama dan bertukar pikiran dalam mempelajari suatu materi. Namun kebiasaan berkelompok tersebut dapat berakibat negatif apabila guru tidak mampu mengelolanya secara tepat. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa dibiarkan memilih anggota kelompoknya sendiri. Mereka cenderung akan memilih teman-teman terdekatnya. Hal ini akan mengakibatkan pergaulan mereka terbatas pada orang-orang tertentu saja.
Guru dapat menyikapi persoalan diatas dengan cara membagi kelompok-kelompok secara heterogen. Tiap-tiap kelompok harus terdiri dari beberapa siswa yang memiliki latar belakang berbeda, tingkat pengetahuan berbeda, tingkat ekonomi berbeda, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan dalam kelompoknya. Siswa akan menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, satu sama lain harus saling membantu dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian setiap individu tidak akan ada yang merasa paling hebat dan meremehkan orang lain sehingga sikap toleransi terhadap sesama akan tertanam dalam hati siswa.
Beberapa poin diatas dapat dijadikan acuan bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Satu hal yang paling penting adalah sebelum kita ingin merubah sikap dan perilaku siswa maka kita harus melakukan refleksi diri terlebih dahulu apakah kita sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan demikian maka kita dapat menularkan sikap toleransi tersebut kepada siswa dengan baik.


Membentuk Sikap Toleransi Siswa Melalui Pendidikan Berbasis Karakter
Salah satu tujuan dari pendidikan adalah menyiapkan generasi penerus bangsa yang memiliki kompetensi sehingga mampu bersaing di dunia nyata. Kompetensi yang dimaksud di sini adalah kompetensi di bidang ilmu pengetahuan, keterampilan serta kompetensi sosial. Kompetensi sosial merupakan hal yang penting untuk dimiliki oleh setiap individu karena setiap manusia tentu tidak bisa lepas dari kegiatan berinteraksi dengan sesamanya di masyarakat.
Hidup bermasyarakat di Indonesia tentu bukan perkara yang mudah mengingat masyarakat kita memiliki tingkat keragaman yang sangat tinggi. Hidup di tengah-tengah perbedaan akan menyulitkan bagi individu yang tidak mampu menerima dan menghargai perbedaan tersebut. Setiap individu di masyarakat memiliki ciri khas, latar belakang, agama, suku dan bahasa yang berbeda. Banyaknya perbedaan tersebut merupakan sebuah potensi yang dapat memicu konflik dan perpecahan di masyarakat apabila tidak mampu disikapi secara bijak. Disinilah diperlukan peranan manusia Indonesia yang mampu bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di masyarakat agar keutuhan dan persatuan bangsa tetap terjaga.
Pembentukan karakter pada setiap individu banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor baik internal maupun eksternal. Setiap individu dilahirkan dengan membawa sifat-sifat tertentu yang diturunkan secara genetis (faktor internal). Selain faktor internal pembentukan karakter juga dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa pengaruh lingkungan dan pembiasaan. Faktor eksternal ini ternyata memiliki pengaruh yang cukup besar dalam membentuk karakter setiap individu. Apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang baik dan belajar tentang sesuatu yang baik maka akan baik pula individu tersebut. Begitu pula sebaliknya, apabila individu tersebut berada pada lingkungan yang tidak baik dan belajar tentang sesuatu yang kurang baik maka akan kurang baik pula individu tersebut.
Besarnya pengaruh lingkungan (faktor eksternal) dalam membentuk karakter pribadi seorang individu ini memicu setiap orang untuk belajar menjadi individu yang lebih baik. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara menempatkan diri pada lingkungan yang mendukung dan membuat seseorang menjadi individu yang mampu bersikap dan bersosialisasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang baik tersebut diharapkan dapat merubah karakter suatu individu menjadi lebih baik dengan cara menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang baik sehingga diharapkan kebiasaan tersebut akan terus berlanjut dan dapat diterapkan dalam kehidupan.
Lingkungan sekolah merupakan suatu lingkungan dimana seseorang belajar untuk menjadi individu yang menguasi ilmu pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup dan kemampuan hidup bermasyarakat. Seseorang yang telah mendapatkan pendidikan diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang didapatnya di dalam kehidupan sekaligus mampu hidup berdampingan di masyarakat. Jadi, pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam membentuk kepribadian seorang individu yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan saja namun juga mampu hidup bermasyarakat secara harmonis.
Peranan pendidikan dalam membentuk karakter individu ini seharusnya disadari dengan baik oleh para pemegang kepentingan pendidikan di negeri ini. Pendidikan seharusnya tidak hanya menitikberatkan pada penguasaan aspek kognitif saja namun juga harus menitikberatkan pada aspek sikap dan perilaku siswa (afektif). Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Nasional sebenarnya sudah membagi 3 ranah pembelajaran yang harus dikuasai oleh siswa yaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotor. Namun kenyataan yang ada menunjukkan bahwa guru sebagai ujung tombak di lapangan masih terfokus hanya pada satu aspek saja yaitu aspek kognitif.
Kenyataan tersebut tentu tidak sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah. Namun hal ini tentu tidak dapat disalahkan begitu saja mengingat sistem evaluasi pendidikan di negeri ini (Ujian Nasional) yang dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan ternyata juga hanya mengukur aspek kognitif saja. Aspek afektif yang menekankan perubahan sikap dan perilaku siswa ternyata masih belum dilakukan penilaian yang seharusnya juga ikut menentukan kelulusan siswa dari satu jenjang pendidikan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Hal inilah yang menyebabkan guru tidak memberikan perhatian lebih kepada aspek afektif tersebut.
Guru sebagai ujung tombak pendidikan di lapangan seharusnya juga menyadari tentang tugas dan kewajibannya sebagai pengajar dan pendidik. Mungkin masih banyak guru di lapangan yang tidak bisa membedakan definisi antara mengajar dan mendidik. Guru sebagai pengajar berkewajiban untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan oleh siswa. Sementara guru sebagai pendidik lebih menekankan kewajiban sosial dan moral seorang guru dalam membentuk dan mengawasi sikap dan tingkah laku siswa. Selama ini guru hanya menitikberatkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pengajar saja. Hal ini tidak diimbangi dengan pembekalan nilai-nilai luhur kepribadian bangsa yang harus tercermin dalam sikap dan tingkah laku siswa sehari-hari.
Belum tercapainya orientasi pendidikan yang mampu mendidik ternyata membawa dampak yang cukup besar bagi kehidupan. Para lulusan pendidikan saat ini seperti kehilangan jati diri bangsa yang dulu dikenal memiliki rasa toleransi yang tinggi dalam bermasyarakat. Hal ini kemudian diperparah lagi dengan serangan ideologi dan kebudayaan barat yang cenderung mendorong manusia untuk hidup individualis. Banyak fenomena di negeri ini telah membuktikan bahwa sangat mudah mencari orang-orang yang pandai dan berilmu namun sangat sedikit dari mereka yang bermoral dan mampu menggunakan ilmu sebagai mana mestinya. Mereka hanya menggunakan ilmunya untuk mengejar kepentingan pribadi semata tanpa memperdulikan orang lain.
Fenomena korupsi merupakan penyakit negeri ini yang tiada kunjung sembuh dan seperti sudah berakar di dalam kehidupan masyarakat kita. Apabila kita perhatikan, fenomena ini juga tidak lepas dari rendahnya toleransi terhadap sesama. Seorang koruptor dengan cerdiknya merampok uang rakyat untuk memperkaya dirinya sendiri tanpa memperhatikan bahwa masih banyak rakyat yang tidak bisa makan, tidak bisa mengakses kesehatan, tidak bisa menikmati pendidikan, dan sebagainya. Rendahnya toleransi terhadap sesama ini akan menciptakan jurang pemisah yang semakin dalam antara “Si Kaya” dan “Si Miskin”. Hal ini tentu tidak kita inginkan karena akan meningkatkan potensi perpecahan dan kecemburuan sosial di masyarakat.
Rendahnya sikap toleransi terhadap sesama ternyata juga berimbas pada berbagai sendi kehidupan. Sebagai contoh yang lain, banyak kerusuhan yang berbau SARA, tawuran pelajar, hingga perseteruan para elit politik merupakan bukti nyata bahwa menghargai dan menghormati orang lain sudah menjadi sesuatu yang sangat langka di negeri ini. Jika hal ini dibiarkan terus-menerus maka dikhawatirkan akan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa.
Menyadari pentingnya masalah tersebut maka sudah waktunya pendidikan mengambil alih kembali fungsinya dalam mendidik dan membentuk karakter manusia Indonesia yang berpedoman pada nilai-nilai luhur Pancasila. Solusi yang tepat adalah dengan menggalakkan pendidikan berbasis karakter. Pendidikan berbasis karakter sejatinya bukanlah sesuatu yang baru dan tidak sulit untuk melaksanakannya dalam pembelajaran di kelas. Garis besar pendidikan berbasis karakter ini adalah mengintegrasikan nilai-nilai sikap dan moral ke dalam kegiatan pembelajaran yang tercermin dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan kegiatan belajar mengajar di kelas.
Dengan diterapkannya pendidikan berbasis karakter tersebut maka guru secara langsung memiliki peranan yang besar dalam mengubah dan membentuk sikap dan tingkah laku siswa. Guru harus bisa menjadi agen perubahan dalam membentuk anak didik yang memiliki rasa toleransi terhadap sesama. Tugas tersebut tentu tidak mudah namun ada beberapa poin penting yang dapat dijadikan sebagai acuan dalam memulai dan berinovasi dengan pendidikan berbasis karakter tersebut, antara lain:
  1. Mengubah orientasi pembelajaran dengan memberikan perhatian lebih pada ranah afektif.
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pendidikan selama ini hanya menekankan pada aspek kognitif saja. Hal tersebut tentu tidak dapat diandalkan untuk membentuk kepribadian siswa yang mencerminkan sikap toleransi terhadap sesama. Sudah saatnya ranah afektif mendapatkan perhatian lebih besar.
Dengan memberikan perhatian lebih kepada ranah afektif maka sebagai konsekuensinya guru harus merencanakan kegiatan pembelajaran dalam bentuk RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) yang mengakomodasikan beberapa indikator pembelajaran dari ranah afektif tersebut. Indikator tersebut harus terdefinisikan secara jelas maksud dan tujuannya serta bagaimana cara penilaiannya.
Guru harus cerdik dalam mengintegrasikan antara indikator kognitif dan afektif. Apabila suatu materi membutuhkan kegiatan diskusi kelompok atau debat maka guru dapat memasukkan indikator afektif yang mengukur sikap toleransi siswa dalam menghargai dan menerima pendapat orang lain. Hal ini penting karena melalui pembiasaan menghargai dan menghormati perbedaan pendapat tersebut maka sikap toleransi siswa akan terbentuk sedikit demi sedikit.
Penerapan indikator afektif tersebut juga harus dibarengi dengan sosialisasi ke siswa. Mungkin sebagian besar siswa masih menganggap pengetahuan dalam menyelesaikan soal-soal ulangan dan tugas adalah yang paling penting dalam kegiatan belajar mengajar. Siswa harus diberikan informasi bahwa sikap dan perilaku mereka juga ikut dinilai. Hal ini diharapkan mampu memotivasi siswa untuk bersikap lebih baik dengan guru maupun dengan sesama temannya.
Mekanisme penilaian yang logis untuk mengukur ketercapaian indikator afektif tersebut adalah dengan metode observasi oleh guru dan metode angket oleh siswa. Guru membuat instrumen pengamatan sikap yang di dalamnya memuat poin-poin penilaian dengan skala tertentu beserta dengan rubrik penilaiannya. Poin-poin penilaian tersebut misalnya dapat berupa pernyataan sebagai berikut: Siswa mampu menghargai pendapat orang lain, Siswa tidak memotong pembicaraan orang lain selama proses diskusi, Siswa tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain, Siswa mampu menerima dengan lapang dada apabila dirinya salah, Siswa mampu mengutarakan pendapat dengan sopan, Siswa tidak menyinggung perasaan orang baik dalam perkataan maupun perbuatan, dan lain sebagainya. Teknis penilaiannya yaitu guru mengamati sikap siswa selama proses diskusi satu persatu dan memberikan penilaian pada instrumen yang telah disiapkan.
Selain metode observasi sikap oleh guru, mekanisme penilaian yang kedua yaitu dengan memberikan angket penilaian kepada siswa. Angket yang diberikan disini terdiri dari dua macam yaitu angket penilaian diri dan angket penilaian teman. Pertama, angket penilaian diri merupakan angket yang berfungsi sebagai refleksi diri bagi siswa. Dengan angket tersebut siswa akan menilai dirinya sendiri apakah dia sudah memenuhi seluruh poin-poin penilaian yang diajukan. Sedangkan angket yang kedua yaitu angket penilaian teman. Angket tersebut berfungsi sebagai penilaian terhadap siswa lain. Kerahasiaan identitas pengisi angket ini sebisa mungkin dijaga agar tidak menimbulkan permusuhan diantara siswa sendiri.
Seluruh hasil angket penilaian oleh siswa akan dikumpulkan dan direkapitulasi dengan hasil penilaian oleh guru. Hasil penilaian yang didapat diharapkan akan lebih obyektif karena dilakukan oleh banyak orang. Nilai akhir yang didapat kemudian dikonversi ke dalam skala penilaian huruf (A, B, C, D, dan E). Agar terjadi perkembangan sikap siswa menjadi lebih baik maka siswa harus diberikan balikan berupa poin-poin penilaian mana yang masih belum mereka penuhi.
Metode penilaian “saling menilai” diatas diharapkan mampu memicu siswa untuk lebih bertoleransi dengan siapapun. Siswa akan lebih berhati-hati dalam bersikap agar tidak sampai mendapat penilaian yang jelek baik dari guru maupun temannya sendiri. Siswa akan merasa terus diamati sehingga dia akan berbuat yang terbaik dimanapun dan kapanpun dia berada.
  1. Guru menjadi contoh model dalam berperilaku di kelas.
Guru adalah sosok yang harus bisa menjadi panutan baik dari segi pengetahuan maupun kepribadian. Guru adalah model yang akan ditiru oleh siswa dalam bersikap. Kita harus ingat bahwa siswa belajar dari apa yang mereka lihat, mereka dengar, mereka alami, dan mereka rasakan. Kita juga harus ingat dengan kata-kata bijak berikut: “Jika anak dibesarkan dalam toleransi, maka ia akan belajar bersabar. Begitupun sebaliknya, jika anak dibesarkan dalam kecaman maka ia akan belajar menyalahkan”. Kata-kata tersebut harus menjadi motivasi bagi para guru untuk menunjukkan contoh yang baik kepada siswa dalam menghargai toleransi terhadap sesama.
Guru harus berhati-hati dalam bertutur kata dan bertingkah laku. Tutur kata dan tingkah laku yang tidak tepat pada tempatnya akan berakibat buruk pada siswa. Mereka bisa saja meniru tutur kata dan tingkah laku kita tanpa memperhitungkan benar salahnya. Sebagai contoh sederhana, apabila kita mengajukan suatu pertanyaan kepada siswa dan jawaban yang mereka berikan tidak sesuai dengan yang kita harapkan maka sebagian besar guru akan berkata “Salah!!! Tidak tepat!!!”. Hal ini memang sering tidak kita sadari tetapi dengan kita sering menyalahkan pendapat atau jawaban siswa maka secara tidak langsung siswa juga telah belajar untuk menyalahkan pendapat orang lain. Guru seharusnya tidak mengeluarkan kata-kata bermakna negatif yang dapat melemahkan kreatifitas dan mental siswa.
Guru sebagai contoh model bagi siswa harus menata ulang tutur kata dan tingkah lakunya dihadapan siswa agar dapat memberikan penguatan positif terhadap pembentukan kepribadian siswa. Apabila guru mampu bertoleransi dengan baik maka siswa juga akan belajar melakukan hal serupa.
  1. Membiasakan siswa menghargai perbedaan.
“Sesuatu yang baik lahir dari kebiasaan yang baik pula”. Kalimat tersebut harusnya menjadi sebuah pedoman bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Sikap toleransi terhadap sesama tidak muncul begitu saja melainkan dibentuk melalui sebuah proses panjang. Guru harus menempatkan siswa pada kondisi yang menghadirkan banyak perbedaan-perbedaan. Pada kondisi demikian guru dapat melatih siswa agar bisa menghargai setiap perbedaan yang ada. Sebagai contoh sederhana guru memberikan sebuah permasalahan untuk diselesaikan secara berkelompok. Guru kemudian mengadu pendapat antara kelompok satu dengan kelompok yang lain. Dengan perbedaan pendapat tersebut siswa dilatih untuk tetap saling menghormati dan menghargai dengan sesama temannya.
Cara lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya yaitu guru sebaiknya tidak memberikan bentuk soal pilihan ganda kepada siswa. Soal bentuk pilihan ganda terlalu sempit untuk pola pikir siswa. Pada soal bentuk pilihan ganda yang ada hanyalah satu opsi jawaban benar dan sisanya adalah jawaban yang salah. Jika terus dilatih dengan bentuk soal tersebut maka pola pikir siswa akan menjadi kaku. Mereka tidak akan bisa menghargai perbedaan jawaban karena sudah terlatih dengan jawaban yang pasti dan tidak dapat berubah. Guru sebaiknya menggunakan bentuk soal uraian karena lebih efektif untuk mengukur tingkat nalar dan pemahaman siswa. Selain itu pada bentuk soal uraian siswa lebih bisa berkreasi dengan jawabannya. Siswa bisa saja menggunakan kata-kata yang berbeda satu sama lain namun pada akhirnya maksud dan tujuannya tetap sama. Hal ini secara tidak langsung akan menanamkan pola pikir kepada siswa bahwa perbedaan itu bukanlah suatu permasalahan yang besar tetapi justru sebuah keindahan dalam mendefinisikan sesuatu.
  1. Membuat kelompok-kelompok belajar heterogen.
Manusia adalah makhluk sosial yang cenderung hidup berkelompok. Namun dalam hidup berkelompok tersebut manusia cenderung memilih lingkungan tertentu yang sesuai dengan keinginan mereka. Manusia hanya mau berkelompok dengan sesamanya yang memiliki kesamaan-kesamaan misalnya kesamaan suku, bahasa, agama, dan lain sebagainya. Hal ini mengakibatkan kehidupan di masyarakat menjadi terpecah-pecah.
Dalam kegiatan pembelajaran guru juga sering membagi siswa dalam kelompok-kelompok belajar. Hal tersebut biasanya dilakukan guru ketika menggunakan model pembelajaran kooperatif. Dengan berkelompok siswa diharapkan dapat saling bekerja sama dan bertukar pikiran dalam mempelajari suatu materi. Namun kebiasaan berkelompok tersebut dapat berakibat negatif apabila guru tidak mampu mengelolanya secara tepat. Hal tersebut dapat terjadi apabila siswa dibiarkan memilih anggota kelompoknya sendiri. Mereka cenderung akan memilih teman-teman terdekatnya. Hal ini akan mengakibatkan pergaulan mereka terbatas pada orang-orang tertentu saja.
Guru dapat menyikapi persoalan diatas dengan cara membagi kelompok-kelompok secara heterogen. Tiap-tiap kelompok harus terdiri dari beberapa siswa yang memiliki latar belakang berbeda, tingkat pengetahuan berbeda, tingkat ekonomi berbeda, dan lain sebagainya. Hal tersebut dimaksudkan agar siswa lebih bisa menerima dan menghargai perbedaan-perbedaan dalam kelompoknya. Siswa akan menyadari bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Oleh karena itu, satu sama lain harus saling membantu dalam mencapai tujuan bersama. Dengan demikian setiap individu tidak akan ada yang merasa paling hebat dan meremehkan orang lain sehingga sikap toleransi terhadap sesama akan tertanam dalam hati siswa.
Beberapa poin diatas dapat dijadikan acuan bagi guru dalam membentuk sikap toleransi siswa. Satu hal yang paling penting adalah sebelum kita ingin merubah sikap dan perilaku siswa maka kita harus melakukan refleksi diri terlebih dahulu apakah kita sudah mampu bertoleransi ataukah belum. Dengan demikian maka kita dapat menularkan sikap toleransi tersebut kepada siswa dengan baik.


Gerakan Pelajar Kreatif



Gerakan Pelajar Kreatif
Author: ipmyes | Filed under: Seputar IPM
Dalam perjalanan sejarah gerakan dakwah IPM, sejak berdirinya pada tanggal 18 Juli 1961 kemudian mengalami perubahan menjadi IRM pada tanggal 18 November 1992, dan kembali berubah nama menjadi IPM pada Muktamar XVI di Solo hingga saat ini (Muktamar XVII di Yogyakarta), IPM telah menjalani perjalanan dakwah yang cukup panjang dengan segala bentuk strategi gerakan yang dimilikinya.
Sesuai dengan arti maupun makna sebuah strategi, tentunya IPM dalam menentukan strategi gerakan tidaklah luput dari segala bentuk analisisnya terhadap perkembangan zaman yang ada, terutama dengan melihat persoalan pelajar dan pendidikan pada zamannya hingga saat ini. Jika pada Muktamar XIV di Bandar Lampung pada tahun 2004, IPM mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Kritis-Transformatif yang memiliki ciri: sadar, peka, dan peduli terhadap persoalan sosial dalam rangka melakukan sebuah perubahan yang lebih baik.
Tentunya IPM sadar betul terhadap realitas sosial saat itu, sehingga dengan Gerakan Kritis-Transformatif diharapkan dapat menjawab persoalan sosial (pelajar-pendidikan) kala itu. Terlepas dari adanya pro maupun kontra terhadap sebuah gerakan yang telah di deklarasikan, maupun implementasi sebuah gerakan yang mungkin dirasakan belum berjalan secara maksimal. IPM melalui Gerakan Kritis Transformatif telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk melakukan perubahan yang lebih baik tersebut.
Demikian juga pada Muktamar XVII di Yogyakarta, IPM selalu melakukan analisis dengan segala persoalan yang ada, guna menjawab sebuah persoalan tersebut. Bukan berarti Gerakan Kritis Transformatif yang telah dideklarasikan sebelumnya sudah tidak relevan
lagi dalam menjawab persoalan saat ini, akan tetapi bagaimana Gerakan Kritis Transformatif dapat diimplementasikan lebih riil di lapangan, tidak terkesan kaku dan kuno sehingga mudah diterima di kalangan basis massa IPM, yaitu pelajar saat ini. Dimana para
pelajar saat ini hidup di tengah gencarnya arus globalisasi dengan segala bentuk kemajuan zaman yang ada, persaingan yang kompetitif dan pemanfaatan teknologi maupun informasi yang serba canggih, menuntut mereka untuk dapat bersaing di zamannya
dan selektif dalam melakukan sebuah pilihan hidup mereka sebagai seorang pelajar. Oleh karena itu, pada Muktamar XVII di Yogyakarta kali ini, IPM kembali mendeklarasikan diri sebagai Gerakan Pelajar Kreatif (GPK) sebagai jawaban terhadap persoalan yang
dihadapi saat ini. Melalui Gerakan Pelajar Kreatif inilah, IPM kembali menguatkan diri dan mensinergikan ketiga dimensi Iman, Ilmu, dan Amal dalam menjalankan gerakan dakwahnya di kalangan pelajar.
Bagaimana IPM dapat melakukan Penyadaran, Pemberdayaan dan Pembelaan sebagai trilogi gerakan IRM yang pernah dideklarasikan kala itu, kemudian menciptakan sebuah karakter pelajar yang tidak hanya memiliki keshalehan ritual semata tanpa memiliki ilmu dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari, atau seorang pelajar yang shaleh dan berilmu, akan tetapi tidak mengamalkannya dengan melakukan sebuah perubahan. Melainkan bagaimana IPM dapat melahirkan para pelajar yang shaleh secara ritual dengan keimanannya yang kuat, memiliki ilmu dalam menjalankan rasa keimanannya tersebut, kemudian mengamalkannya dalam kehidupan sosial kemasyarakatan sebagai wujud penyempurnaan nilai keimanan dan pemahamannya terhadap ilmu untuk melakukan sebuah perubahan. Sehingga spirit Gerakan Kritis Transformatif yang sebelumnya pernah dideklarasikan oleh IRM/IPM, insya Allah dapat diimplementasikan dengan baik dengan terciptanya para agen-agen perubahan (agent of change) di kalangan pelajar dan tercipta pula para pelopor gerakan kritis transformatif itu sendiri di kalangan pelajar.
Metode

Metode yang dipakai dalam Gerakan Pelajar Kreatif IPM ini adalah Metode Perencanaan strategis (Strategic Planning). Perencanaan strategis adalah proses yang dilakukan suatu organisasi untuk menentukan sebuah metode, cara atau arahan, serta mengambil keputusan untuk mengalokasikan sumber dayanya (termasuk modal dan sumber daya manusia) untuk mencapai sebuah tujuan. Berbagai teknik analisis dapat digunakan dalam proses ini, termasuk analisis SWOT(Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats), PEST(Political, Economic, Social, Technological), STEER (Sociocultural,Technological, Economic, Ecological, Regulatory)atau SMART (Specific, Measurable, Actual, Realistic, TimeBound).

MENJADI PELAJAR SUKSES




Keyakinan diri tak hanya diperlukan oleh orang dewasa, begitu juga anak-anak. Orangtua bisa membantu anak dalam mengembangkan keyakinan dirinya ini

Self confidence is not only for adult but also for children. Parents can help their children to improve children’s confidence.

Soal keyakinan diri ini dinyatakan Adam Khoo (31), penulis buku I Am Gifted, So Are You! yang selama sekitar lima tahun terakhir memberikan pelatihan motivasi kepada sekitar 20.000 orang. Menurut dia, pembangkit motivasi yang paling dasar adalah keyakinan pada diri sendiri.

Hal itu tak hanya dibutuhkan orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Masalah pada anak-anak terutama, sering kali orang-orang di luar si anak, seperti orangtua dan guru, justru memberikan label negatif kepada mereka.

Kata-kata seperti “malas”, “tidak bisa”, “lemah dalam matematika” dan sebagainya, membuat sugesti negatif bagi anak tersebut. Padahal anak-anak masih memerlukan proses dalam mengembangkan keyakinan dirinya.

Anak-anak, terutama yang sudah bersekolah, umumnya menghadapi berbagai masalah serupa. Mulai dari mudah beralih perhatian, hanya mampu berkonsentrasi dalam rentang waktu singkat, cenderung ceroboh, menganggap guru-guru membosankan, sampai mudah menyerah, dan tidak tertarik pada pelajaran.

Deretan keadaan tersebut masih ditambah lagi dengan kecanduan permainan komputer, televisi, internet, dan perilaku orangtua yang mereka rasakan terlalu menekan.

“Ibu saya pernah bilang, saya mengikuti dia karena memang gennya lemah dalam matematika. Perkataannya itu membuat saya jadi percaya kalau saya memang lemah berhitung,” kata Adam mencontohkan dirinya.

Padahal rasa percaya diri itulah yang harusnya dibangun pertama kali sebagai modal dasar. Untuk itu, setiap orang harus membuat daftar yang isinya semacam pengetahuan tentang keterbatasannya.

Pengetahuan itu bisa diperoleh dari komentar teman, perasaan diri sendiri, pengalaman sebelumnya, dan komentar orangtua atau guru. Setelah itu, selidikilah segala sesuatu yang dipercaya sebagai keterbatasan diri Anda tersebut. Selanjutnya, bantahlah daftar itu!

Proses tersebut membuat kita berbicara dengan diri sendiri. Contohnya, Anda percaya kalau Anda sangat pelupa. Namun anehnya, meski pelupa tetapi Anda bisa mengingat lirik lagu dengan mudah. Nama-nama artis dan film-filmnya juga bisa Anda hafalkan di luar kepala.

Kalau begitu, dari mana datangnya pemikiran bahwa Anda adalah seorang pelupa? Mungkin karena Anda selalu lupa apa yang sudah Anda pelajari pada waktu ujian. Ini bisa terjadi bukan karena Anda pelupa, tetapi sebab teknik menghafal Anda yang tidak cocok, atau topiknya tidak menarik.

Untuk menumbuhkan rasa keyakinan diri, langkah berikutnya adalah tuliskan hal-hal yang akan terjadi kalau kepercayaan yang membatasi ini tetap Anda pegang teguh. Bertanyalah pada diri sendiri, apa saya tidak pernah mendapat nilai baik dalam ujian? Apa saya jadi tidak bisa mendapat universitas yang bagus? Pekerjaan yang baik? Gaji tinggi dan kehidupan yang nyaman?

Hal terakhir adalah mencari pemikiran baru yang bisa melawan kepercayaan lama. Kepercayaan lama yang amat membatasi tersebut. Selain itu, sertakan juga bukti-bukti pendukungnya. Misalnya, saya berpikir kalau saya orang yang bermotivasi. Buktinya, saat akan ikut pertandingan bola basket, saya bisa berlatih selama empat jam sepulang sekolah. Padahal saya telah lelah belajar.

Metode tersebut hanyalah cara awal untuk membangkitkan motivasi, dan melawan pikiran-pikiran negatif yang selama ini membatasi seorang siswa.

Coby for : http://cuwal.wordpress.com/2008/08/19/menjadi-pelajar-sukses/